30 Oktober 2025

Kecenderungan Self-Diagnose Lewat Tes Online

Dalam beberapa tahun terakhir, tren self-diagnose melalui tes psikologi online semakin marak, terutama di kalangan anak muda yang aktif menggunakan media sosial. Kemudahan akses internet membuat orang dapat dengan cepat mencari informasi tentang gejala yang mereka rasakan, kemudian mencoba menghubungkannya dengan gangguan psikologis tertentu. Misalnya, seseorang yang merasa cemas saat berbicara di depan umum bisa saja langsung menyimpulkan bahwa dirinya mengalami gangguan kecemasan sosial setelah mengisi kuis online yang beredar di media sosial.


 

Fenomena ini muncul karena adanya rasa ingin tahu sekaligus kebutuhan akan pemahaman diri. Bagi sebagian orang, tes online terasa seperti jalan pintas untuk menemukan jawaban atas perasaan yang sulit mereka jelaskan. Rasa tidak nyaman, stres, atau perasaan tertekan seringkali membuat individu mencari validasi cepat, dan tes psikologi online seolah mampu memberikan kejelasan itu. Penelitian menunjukkan bahwa media digital kini memainkan peran besar dalam cara orang memahami kesehatan mental mereka (Naslund, Aschbrenner, Barre, & Bartels, 2016).


 

Namun, kecenderungan ini tidak lepas dari risiko. Tes psikologi online yang beredar di internet seringkali tidak berbasis pada standar ilmiah yang valid. Banyak di antaranya hanya berupa kuis sederhana tanpa landasan metodologis, sehingga hasilnya bisa menyesatkan. American Psychiatric Association (2021) menegaskan bahwa diagnosis gangguan mental memerlukan asesmen mendalam oleh tenaga profesional, bukan hanya berdasar pada jawaban dari beberapa pertanyaan umum. Dengan kata lain, tes online tidak bisa menggantikan proses evaluasi psikologis yang sebenarnya.


 

Selain itu, self-diagnose dapat menimbulkan konsekuensi serius. Seseorang bisa saja menganggap dirinya memiliki gangguan tertentu lalu merasa terbebani secara psikologis, padahal gejalanya masih dalam batas wajar. Sebaliknya, ada pula yang meremehkan gejala serius karena merasa “sudah tahu” kondisi dirinya lewat hasil tes online. Hal ini berpotensi membuat individu menunda mencari pertolongan profesional. Studi yang dilakukan oleh Starcevic dan Berle (2013) tentang cyberchondria menunjukkan bahwa akses informasi kesehatan yang tidak difilter dengan baik dapat meningkatkan kecemasan dan perilaku pencarian informasi berlebihan, yang justru memperburuk kondisi mental.


 

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa tes psikologi online juga memiliki sisi positif. Bagi sebagian orang, kuis semacam ini dapat menjadi langkah awal untuk mengenali diri. Misalnya, seseorang yang membaca hasil tes kecemasan bisa jadi mulai menyadari pentingnya kesehatan mental dan terdorong untuk mencari bantuan lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan pandangan Marchant et al. (2018) yang menyebutkan bahwa media digital bisa menjadi sarana awal untuk meningkatkan kesadaran dan literasi kesehatan mental, meski tetap diperlukan pendampingan dan klarifikasi profesional.


 

Self-diagnose lewat tes online adalah fenomena yang muncul akibat kebutuhan masyarakat akan pemahaman cepat tentang kesehatan mental di era digital. Meskipun memberikan manfaat dalam meningkatkan kesadaran, tetap perlu diingat bahwa hasil tes tersebut tidak bisa dijadikan dasar diagnosis. Konsultasi dengan psikolog atau psikiater tetap merupakan langkah paling tepat untuk memahami kondisi mental secara mendalam. Sebagai biro psikologi terpercaya, Smile Consulting Indonesia adalah vendor psikotes yang juga menyediakan layanan psikotes online dengan standar profesional tinggi untuk mendukung keberhasilan asesmen Anda.


 

Referensi

 

American Psychiatric Association. (2021). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed., text rev.). American Psychiatric Publishing.

 

Marchant, A., Hawton, K., Stewart, A., Montgomery, P., Singaravelu, V., Lloyd, K., … John, A. (2018). A systematic review of the relationship between internet use, self-harm, and suicidal behaviour in young people: The good, the bad and the unknown. PLOS ONE, 12(8), e0181722. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0181722

 

Naslund, J. A., Aschbrenner, K. A., Barre, L., & Bartels, S. J. (2016). Feasibility of popular m-health technologies for activity tracking among individuals with serious mental illness. Telemedicine and e-Health, 22(9), 733–739. https://doi.org/10.1089/tmj.2015.0102

 

Starcevic, V., & Berle, D. (2013). Cyberchondria: Towards a better understanding of excessive health-related internet use. Expert Review of Neurotherapeutics, 13(2), 205–213. https://doi.org/10.1586/ern.12.162


 

Artikel Terkait

29 Oktober 2025
Pendahuluan Dunia psikologi terus berkembang seiring kemajuan teknologi digital. Kini, pengukuran psikologis tidak lagi terbatas pada kertas dan pensil, tetapi mulai bertransformasi menjadi pengalaman...
27 Oktober 2025
Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan untuk merencanakan langkah dan memecahkan masalah adalah bagian penting dari kecerdasan seseorang. Menariknya, kemampuan ini bisa diukur tanpa harus...
24 Oktober 2025
Pendahuluan Pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana psikolog bisa memahami cara berpikir, emosi, dan perilaku seseorang hanya melalui serangkaian pertanyaan atau gambar? Jawabannya terletak pada alat...