Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Hampir setiap hari kita menghabiskan waktu untuk membuka berbagai platform sosial, entah itu untuk berinteraksi dengan teman, mencari hiburan, atau bahkan hanya untuk melihat apa yang sedang viral. Meskipun media sosial memberikan banyak manfaat, ada satu hal yang sering terlupakan: dampaknya terhadap harga diri kita.
Bagi banyak orang, media sosial bukan hanya tentang berbagi momen atau informasi, tetapi juga tentang membangun citra diri. Lalu, bagaimana hal ini mempengaruhi harga diri kita? Apakah kita sedang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir yang terus mengukur diri kita dengan standar orang lain?
Harga diri adalah bagaimana kita memandang diri sendiri, termasuk perasaan kita tentang seberapa bernilai kita sebagai individu. Media sosial sering kali memengaruhi cara kita melihat diri kita sendiri. Setiap foto, status, atau pembaruan yang kita bagikan dapat dipenuhi dengan harapan—harapan untuk mendapat pengakuan, perhatian, atau penerimaan dari orang lain.
Namun, kenyataannya, media sosial lebih sering menampilkan versi kehidupan yang telah dipoles, bukan gambaran yang utuh. Orang-orang cenderung membagikan momen bahagia, pencapaian besar, atau tampilan terbaik dari diri mereka. Hal ini dapat menimbulkan perasaan kurang cukup bagi mereka yang merasa tidak sebaik yang mereka lihat di layar.
"Like", Komentar, dan Pengukuran Harga Diri
Salah satu faktor yang semakin memperburuk hubungan kita dengan harga diri adalah sistem "like" dan komentar. Penerimaan sosial, melalui jumlah "like" atau komentar positif, telah menjadi pengukuran yang tidak resmi atas seberapa baik kita diterima oleh orang lain. Ketika sebuah pos tidak mendapatkan banyak respons atau umpan balik positif, kita cenderung merasakan penurunan dalam harga diri.
Namun, realitanya, banyak dari respons tersebut sering kali tidak menggambarkan nilai kita yang sesungguhnya. Penghargaan di media sosial bersifat sementara dan bisa berubah seiring waktu. Namun, karena kita cenderung menggantungkan kebahagiaan atau rasa dihargai pada jumlah “like” yang kita terima, kita sering kali merasakan perasaan hampa setelahnya, terutama ketika interaksi sosial tidak sebanding dengan harapan kita.
Mungkin kita tidak selalu menyadarinya, tetapi media sosial sering kali memicu perbandingan sosial. Kita secara tidak sadar membandingkan hidup kita dengan orang lain yang terlihat lebih sukses, lebih bahagia, atau lebih menarik. Jika kita melihat orang lain merayakan pencapaian besar—baik itu karier, keluarga, atau pencapaian pribadi kita bisa merasa tertekan atau kurang berharga, bahkan jika pencapaian kita sendiri sudah cukup baik.
Perbandingan sosial semacam ini dapat memperburuk harga diri, terutama jika kita merasa berada jauh di belakang dibandingkan dengan orang lain. Ini juga dapat menciptakan rasa tidak puas yang terus-menerus, karena kita tidak pernah merasa cukup baik atau cukup sukses.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) sering kali muncul ketika kita melihat apa yang dilakukan orang lain di media sosial. Kita mungkin merasa terasing atau tertekan ketika melihat orang lain berpartisipasi dalam kegiatan yang kita anggap menyenankan, seperti perjalanan, perayaan, atau acara sosial yang seru. Rasa ketidakberdayaan ini bisa menggerogoti harga diri kita, karena kita merasa tertinggal atau tidak cukup memenuhi ekspektasi sosial yang seolah ditampilkan oleh media sosial.
FOMO berhubungan dengan perasaan ketidakcukupan perasaan bahwa hidup kita tidak seheboh atau sesempurna apa yang kita lihat di internet. Padahal, kita hanya melihat bagian kecil dari kehidupan orang lain, yang belum tentu mencerminkan keseluruhan kenyataan mereka.
Meskipun dampak media sosial terhadap harga diri bisa sangat besar, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk menjaga keseimbangan psikologis kita:
Menetapkan batasan tentang seberapa banyak waktu yang kita habiskan di media sosial dapat membantu mengurangi kecenderungan untuk terus membandingkan diri dengan orang lain. Batasi waktu pemakaian media sosial dan buat jadwal tertentu untuk berinteraksi di platform tersebut.
Alih-alih mencari persetujuan dari jumlah "like" atau komentar, fokuslah pada konten yang bermakna dan berkualitas. Bagikan momen yang benar-benar berarti, tanpa menunggu validasi dari orang lain.
Mindfulness atau kesadaran diri membantu kita untuk tetap berada di saat ini dan tidak terlalu terpengaruh oleh opini orang lain. Ini juga membantu kita untuk lebih menerima diri sendiri, termasuk ketidaksempurnaan kita.
Harga diri yang sehat berasal dari dalam diri. Tidak ada jumlah "like" atau komentar yang bisa menggantikan keyakinan dalam diri kita bahwa kita cukup, apa adanya.
Media sosial dapat menjadi pedang bermata dua—membantu kita terhubung dengan orang lain dan menemukan inspirasi, namun juga bisa merusak harga diri kita jika kita terlalu bergantung padanya. Kita sering kali terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir, berusaha menjadi versi terbaik diri kita, namun justru lupa untuk menikmati hidup seperti apa adanya.
Pada akhirnya, penting untuk diingat bahwa hidup kita tidak perlu untuk selalu dipresentasikan secara sempurna di media sosial. Menjadi diri sendiri, tanpa harus selalu membandingkan diri dengan orang lain, adalah kunci untuk memiliki harga diri yang sehat dan kuat di dunia yang semakin terdigitalisasi ini.
Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.